Aparat kepolisian diduga terlibat dalam kasus korupsi terkait tata niaga komoditas timah di area Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Bangka Belitung. Keterlibatan aparat ini terungkap melalui dugaan bahwa mereka berperan sebagai pelindung bagi aktivitas tambang ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk, yang merupakan perusahaan milik negara. Ichwan Azwardi, mantan Kepala Divisi Perencanaan dan Pengendalian PT Timah Tbk untuk periode Mei 2017-2020, menyatakan bahwa penghentian tambang ilegal di area PT Timah sangat sulit dilakukan karena adanya dukungan dari aparat keamanan. Pernyataan tersebut disampaikan Ichwan saat diperiksa sebagai saksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk, dengan terdakwa Harvey Moeis, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta, dan Direktur Pengembangan PT TIN Reza Andriansyah. “Kesulitan ini disebabkan oleh adanya dukungan dari pihak-pihak tertentu, Yang Mulia. Jadi, saya tidak dapat menyentuh masalah hukum,” ungkap Ichwan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, pada Kamis (5/9/2024). Pada saat itu, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor sedang menyelidiki keadaan pengelolaan kegiatan pertambangan PT Timah. Ia merasa heran mengapa seluruh aktivitas pertambangan timah di darat dikelola oleh pihak swasta. Sementara itu, PT Timah memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan para ahli tambang yang merupakan lulusan dari universitas terkemuka. Ichwan menjelaskan bahwa ketika ia bergabung pada tahun 2017, pengelolaan PT Timah sudah tidak teratur. Kegiatan pertambangan di darat telah diserahkan kepada pihak swasta. Selain itu, terdapat juga tambang ilegal yang sulit untuk dikendalikan akibat adanya intervensi dari pihak luar. “Jadi dari segi keamanan memang sulit, ya? Ada dukungan dari pihak tertentu?” tanya Hakim. “Benar, informasi yang saya terima dari (Divisi) pengamanan,” jawab Ichwan. Hakim kemudian menanyakan lebih lanjut mengenai siapa yang dimaksud sebagai dukungan tersebut. “Itulah aparat-aparat, Yang Mulia,” jelas Ichwan. Sebagai informasi, area IUP PT Timah di Bangka Belitung mencakup 300.000 hektar yang meliputi wilayah laut dan daratan. Kegiatan pertambangan di laut masih dilaksanakan oleh PT Timah, sedangkan untuk kegiatan tambang di darat dikelola oleh pihak swasta. “Bagaimana dengan kegiatan di darat?” tanya Hakim. “Semua kegiatan di darat dilakukan melalui kemitraan,” jawab Ichwan. Intel Polres Mengunjungi GM PT Timah. Dalam persidangan yang berbeda, mantan General Manager Operasi Produksi PT Timah, Ahmad Haspani, mengungkapkan bahwa ia pernah dikunjungi oleh intel dari Polres Pangkalpinang. Pernyataan tersebut disampaikan Haspani saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang yang melibatkan terdakwa Direktur PT Sariwiguna Binasentosa, Robert Indarto, dan Beneficiary Owner PT Stanindo Inti Perkasa, M.B. Gunawan. Mereka adalah pihak swasta yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi di PT Timah yang diduga merugikan negara sebesar Rp 300 triliun. Haspani mengaku bahwa kunjungan intel tersebut terjadi beberapa waktu setelah ia mendapat teguran dari Direktur Utama CV Salsabila, Tetian Wahyudi, dan Direktur Keuangan PT Timah periode 2016-2020, Emil Ermindra. “Benar, Yang Mulia,” jawab Haspani di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (4/9/2024). CV Salsabila didirikan oleh Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, bersama Emil, dengan tujuan untuk membeli bijih timah dari penambang ilegal yang beroperasi di IUP PT Timah. Bijih yang diperoleh dari penambang ilegal tersebut kemudian dijual kembali kepada PT Timah. Pada suatu kesempatan, Haspani menyatakan bahwa CV Salsabila mengirimkan pasokan bijih timah ke PT Timah. Namun, proses pembayaran mengalami keterlambatan karena dilakukan pada akhir pekan. Beberapa waktu setelah itu, Emil menghubungi Haspani dan menyampaikan kemarahan. “Dia mengatakan, ‘Saya yang menjadi direktur, bukan kamu’ dengan ungkapan yang mirip dengan yang tercantum dalam berita acara pemeriksaan, Yang Mulia,” ungkap Haspani. Selanjutnya, Haspani didatangi oleh Tetian dan seorang intel dari Polres Pangkalpinang bernama Ismu yang mengenakan pakaian sipil. “Saya didatangi oleh Tetian Wahyudi bersama salah satu intel,” jelas Haspani. “Namanya Bapak Ismu, tetapi saya tidak mengetahui jabatan resminya dan dia tidak mengenakan seragam,” tambah Haspani. Majelis Hakim kemudian menyelidiki apakah Ismu merupakan anggota dari Direktur Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Bangka Belitung pada waktu itu, Mukti Juharsa. Mukti, yang kini menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri dengan pangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) Polisi, namanya telah disebutkan dalam kasus timah pada sidang sebelumnya. “Apakah dia anak buah Pak Reskrim?” tanya Hakim. Haspani menyatakan, "Saya tidak tahu, tetapi dia memiliki kedekatan dengan Pak Tetian Wahyudi." Nama Brigjen Mukti Juharsa muncul sebagai admin grup WhatsApp ketika Hakim menginterogasi Ahmad Syahmadi, mantan GM Produksi PT Timah Wilayah Bangka Belitung (Babel), yang dihadirkan sebagai saksi. Pada saat itu, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor berusaha menggali informasi mengenai kapan Syahmadi pertama kali mengenal sosok Harvey Moeis. Syahmadi mengungkapkan bahwa ia mengenal Harvey melalui grup WhatsApp yang terdiri dari pemilik smelter. Hakim kemudian bertanya, "Siapa adminnya?" Syahmadi menjawab, "Seingat saya, adminnya adalah Pak Direskrimsus, Pak Kombes Mukti." Hakim pun melanjutkan pertanyaan mengenai Mukti. Syahmadi menyebutkan bahwa Mukti menjabat sebagai direktur di kepolisian. Hakim kembali bertanya, "Mukti siapa?" dan Syahmadi menjawab, "Juharsa." Hakim melanjutkan, "Dari Polri?" Syahmadi menjelaskan, "Dari Polda." Ia menambahkan, "Polda Kepulauan Bangka Belitung." Perlu dicatat bahwa Mukti Juharsa pernah menjabat sebagai Direskrimsus Polda Bangka Belitung pada tahun 2016. Dalam kasus korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian finansial mencapai Rp 300 triliun. Harvey, Mochtar, Emil, dan sejumlah pelaku lainnya dituduh melakukan korupsi secara kolektif. Hingga saat ini, terdapat 22 individu yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Harvey berperan sebagai perwakilan dari PT Refined Bangka Tin (RBT). Bersama dengan Mochtar, ia diduga terlibat dalam pengaturan kegiatan pertambangan ilegal di area IUP PT Timah untuk meraih keuntungan. Harvey menghubungi Mochtar untuk memfasilitasi kegiatan pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah. Setelah beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar sepakat untuk menutupi kegiatan akomodasi pertambangan ilegal tersebut dengan menyewa peralatan pengolahan timah. Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu mengontak beberapa smelter, termasuk PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Harvey meminta kepada pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang diperoleh. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan kepada Harvey dengan dalih sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Manajer PT QSE, Helena Lim.